DI PASAR INTERNASIONAL
I.
PENDAHULUAN
A.
TEORI
KEUNGGULAN KOMPARATIF (DAVID RICARDO)
Teori
keunggulan komparatif merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo dalam bukunya yang berjudul “Principles
of Political Economy and Taxation” tahun 1817. Ia berpendapat bahwa keunggulan
komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa
lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Menurut teori ini setiap negara
akan cenderung untuk melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang
produksinya yang memiliki keunggulan komparatif. Konsep keunggulan
komparatif merupakan konsep yang lebih realistik dan banyak terdapat dalam
bisnis Internasional. Yaitu suatu keadaan di mana suatu negara memiliki
kemampuan/keunggulan
yang lebih tinggi untuk menawarkan produk tersebut dibandingkan dengan negara
lain. Kemampuan yang lebih
tinggi dalam menawarkan suatu produk itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk
yaitu :
a. Ongkos atau harga penawaran yang lebih
rendah.
b. Mutu yang lebih unggul meskipun harganya
lebih mahal.
c. Kontinuitas penyediaan (Supply) yang
lebih baik.
d. Stabilitas hubungan bisnis maupun
politik yang baik.
e. Tersedianya fasilitas penunjang yang lebih
baik misalnya fasilitas latihan maupun transportasi.
Contohnya Jepang dan Amerika Serikat memiliki keunggulan komparatif
dalam penguasaan teknologi canggih, sebaliknya Indonesia dan Vietnam memiliki
keunggulan komparatif dalam upah kerja yang relatif jauh lebih murah.
Perusahaan-perusahaan Jepang dan Amerika Serikat lebih cocok jika berusaha di
industri pada modal (misalnya industri otomotif, industri barang-barang
elektronik, dan sebagainya). Sementara itu, perusahaan-perusahaan di Indonesia
dan Vietnam akan lebih tepat jika berusaha di industri padat karya (misalnya
industri sepatu, tekstil, garmen, dan sebagainya).
II.
PEMBAHASAN
A.
POSISI PASAR PRODUK PERKAYUAN INDONESIA
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman hayati yang tinggi. Salah
satu hasil hutan yang sangat penting adalah kayu dengan sekitar 4000 jenis
kayu yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Industri pengolahan kayu
merupakan barometer peningkatan perekonomian nasional dan faktor kunci dalam
upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor kehutanan. Berbagai fasilitas
dan kemudahan diprioritaskan untuk mendorong tercapainya tujuan menjadikan
industri pengolahan kayu sebagai primadona contributor riil sektor non migas terhadap pembangunan ekonomi
nasional.
Tim kerja sama pendataan antara Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan pada tahun 2004 melaporkan bahwa jumlah Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) mencapai 1,540 unit, dengan kebutuhan kayu diperkirakan 63,48 juta m3 pertahun.
Kebutuhan
terhadap sumber daya hutan semakin meningkat seiring dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk. Peningkatan ini terjadi akibat kenaikan
permintaan hasil hutan sebagai bahan baku kayu olahan seperti kayu perkakas,
kayu bakar, dan kayu olahan lainnya. Karena itu investasi kayu merupakan
salah satu peluang usaha yang cukup baik. Indonesia merupakan negara yang
memiliki sumber daya hutan yang beraneka ragam, yakni hingga 4000 jenis kayu.
Sebanyak 259 jenis kayu sudah dikenal di dalam perdagangan dan diklompokkan
menjadi 120 jenis kayu perdagangan.
Permintaan
pasar dari luar negeri terhadap kayu olahan terus meningkat setiap tahun.
Ekspor produksi kayu olahan pada tiga bulan pertama tahun 2010 mencapai 3,15
juta meter kubik. Sementara itu, permintaan ekspor kayu olahan tahun lalu
pada periode yang sama hanya sebesar 230.000 meter kubik. Selain di luar
negeri, industri kayu olahan juga terdapat di dalam negeri. Adanya industri
kayu olahan ini dapat menyerap tenaga kerja dan menciptakan peluang kerja.
Umumnya, perusahaan yang bergerak di sektor kayu olahan adalah perusahaan
skala kecil dan menengah. Karakteristik
industri perkayuan nasional yang berorientasi pasar ekspor 80-90 % dari
volume produksi nasional, mengakibatkan industri kayu olahan menjadi sumber
penghasil devisa untuk produk kayu Indonesia.
Tabel berikut, menyajikan besarnya
pangsa pasar relatif dan pertumbuhan kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis,
wood furniture serta pulp & kertas.
Tabel 1. Pangsa Pasar Relatif dan Pertumbuhan Pasar Produk
Perkayuan Indonesia.
*) Perbandingan pangsa pasar,
relatif terhadap kompetitor utama (Malaysia)
**)
Pertumbuhan
didekati dari pertumbuhan total produksi
Gambar di
bawah ini mendeskripsikan secara jelas, posisi masing-masing produk di dalam
pasar internasional berdasarkan matriks Boston.
Keterangan
:
Kuadran I =
Posisi Bintang ("STAR")
Kuadran II
= Posisi Tanda Tanya ("QUESTION MARK")
Kuadran III
= Posisi Penghasil Uang ("CASH COW ")
Kuadran IV
= Posisi Lemah ("DOG")
1. Pertumbuhan Pasar Tinggi, Pangsa
Pasar Relatif Tinggi (Star)
Produk Perkayuan Indonesia pada
pasar internasional yang berada dalam posisi bintang (star) adalah
Pulp dan Kertas (PK). Secara teoritis, produk yang berada dalam posisi
bintang dapat menikmati keuntungan besar karena mempunyai pangsa pasar
relatif besar di satu sisi, didukung oleh potensi pertumbuhan pasar yang
cukup tinggi di sisi lain. Dengan perencanaan pemasaran yang tepat, keuntungan
dapat terus meningkat seiring dengan pertumbuhan pasar produk tersebut.
Disamping peningkatan keuntungan yang mungkin diperoleh, posisi ini juga
mempunyai konsekuensi penggarapan pasar secara lebih serius, mengingat
kemungkinan banyaknya kompetitor baru akan memasuki pasar produk pulp dan
kertas. Hal ini terjadi karena dirangsang oleh pertumbuhan pasar yang masih
menjanjikan dan tentunya menjanjikan keuntungan yang tinggi pula.
2. Pertumbuhan Pasar Tinggi, Pangsa
Pasar Relatif Rendah (Question Mark)
Sebagaimana terlihat dalam matriks
Boston diatas, produk yang berada pada kuadran II adalah Wood Furniture (WF)
dan Kayu Bulat (KB). Produk-produk yang berada pada kuadran II biasa
disimbolkan dengan Tanda Tanya, artinya posisi produk tersebut dalam peta
kompetisi relatif lemah, meskipun bukan berarti tidak mungkin untuk
dikembangkan. Pada umumnya posisi bintang ditempati oleh pemain baru dalam
pasar yang masih mempunyai pangsa pasar terbatas, atau pemain lama yang
mengkonsentrasikan diri dalam ceruk pasar sebagai market nicher. Di
dalam pasar, pangsa pasar relatif Wood Furniture hanya 0.61 kali dari pangsa
pasar kompetitor, oleh karena itu Wood Furniture tidak mungkin berbuat banyak
dalam mengendalikan pasar (harga maupun pasokan). Untuk dapat bergeser ke
posisi bintang, Wood Furniture harus meningkatkan volume ekspornya diatas
ekspor kompetitor. Apabila peningkatan volume ekspor sulit dilakukan,
strategi yang paling rasional adalah mencoba bermain pada ceruk pasar yang
spesifik (market nicher). Untuk bisa berperan optimum dalam ceruk
pasar yang spesifik, terlebih dahulu harus dikenali karakteristik unik dari
produk wood furniture Indonesia serta karakter dari ceruk pasar yang dibidik.
Kayu Bulat juga berada dalam posisi Tanda Tanya dalam matriks Boston. Namun,
berbeda dengan kasus pada wood furniture rendahnya pangsa pasar kayu bulat
Indonesia di pasar internasional sama sekali bukan disebabkan oleh kecilnya
produksi kayu bulat Indonesia, melainkan lebih dari dampak kebijakan larangan
ekspor log serta pemenuhan industri kayu olahan dalam negeri.
3. Pertumbuhan Pasar Rendah, Pangsa
Pasar Relatif Tinggi (Cash Cow)
Produk yang berada dalam kuadran
III (posisi penghasil uang) adalah Kayu Lapis (KL). Produk yang berada dalam
posisi penghasil uang ("CASH COW") tidak selalu berarti sebagai
penghasil uang terbesar, meskipun dalam kasus Kayu Lapis ini Indonesia
memperoleh devisa yang cukup besar dibandingkan komoditas perkayuan lainnya.
Di dalam ilmu pemasaran, sebenarnya posisi cash cow hanya
menggambarkan tingkat penguasaan produk terhadap pasar dan dominasinya
terhadap kompetitor. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Kayu Lapis mempunyai
posisi yang kuat sebagai cash cow karena menguasai lebih dari 2 kali
lipat pangsa pasar kompetitor, bahkan menguasai hampir 50% pangsa pasar kayu
lapis dunia.
4.
Pertumbuhan Pasar Rendah, Pangsa Pasar Relatif Rendah
(Dog)
Dalam matriks Boston diatas,
produk Kayu Gergajian (KG) terlihat berada dalam posisi lemah (Dog). Produk
yang berada dalam posisi lemah mestinya tidak layak untuk dipertahankan,
namun dalam hal kayu gergajian ini permasalahannya harus dilihat secara
menyeluruh dan mendalam. Dalam hal ini, kayu gergajian menempati posisi lemah
dalam perdagangan internasional karena kebijakan pemerintah yang tidak
mengarahkan kayu gergajian sebagai prioritas ekspor. Meskipun bukan prioritas
ekspor, kayu gergajian juga selayaknya mendapatkan perhatian yang lebih
serius mengingat sebagian besar kayu gergajian diolah menjadi produk olahan
kayu lanjutan yang mempunyai nilai tambah tinggi seperti furniture dan
kerajinan kayu.
|
B. KAYU
LAPIS (PLYWOOD) INDONESIA
Wilayah
Indonesia meliputi kira-kira 181,2 juta ha, yang tersebar di lebih dari 17.000
kepulauan, kira-kira seluas wilayah Prancis, Spanyol, Jerman dan Inggris bila
digabungkan bersama-sama. Sekitar 70% atau 133,6 juta ha dari luas daratan
Indonesia adalah hutan. Sekitar 37% dari kawasan hutan telah dicadangkan untuk
perlindungan atau konservasi, 17% untuk dikonversi ke penggunaan lainnya dan
sekitar 46% dari hutan diperuntukkan bagi keperluan produksi. Dalam 5 tahun
terakhir nilai ekspor Indonesia dalam bentuk kayu dan produk perkayuan
meningkat dari 8,3 miliar USD menjadi 9,7 miliar USD per tahun. Indonesia
mengekspor bermacam-macam hasil hutan, mulai dari kayu lapis, bubur kayu dan
berbagai macam produk kertas sampai ke perabot mebel dan kerajinan tangan.
Nilai perdagangan ini meningkat dari sekitar 7,3 miliar USD pada tahun 2005,
menjadi 8,3 miliar USD pada tahun 2006, 8,5 miliar USD pada tahun 2007, dan 9,1
miliar USD pada tahun 2008. Karena krisis ekonomi dunia, nilainya berkurang
sampai ke 7,5 miliar USD pada tahun 2009, tetapi pada tahun 2010, angka ini
meningkat lagi ke 9,7 miliar USD. Pasar ekspor utama untuk produk kayu
Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat dan UE. Di dalam wilayah UE, tujuan
pasar yang utama untuk kayu Indonesia adalah: Jerman, Inggris, Belanda, Belgia,
Prancis, Spanyol dan Italia.
Pada
awal perkembangan industri kayu, industri kayu gergajian dirintis terlebih
dahulu, namun dalam perjalanannya industri ini kurang berkembang dibandingkan
dengan industri kayu lapis. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan
produksi kayu gergajian mulai tahun 1991 hingga saat ini. Selanjutnya industri
kayu lapis mulai berkembang pesat, bersifat inward
oriented atau substitusi impor, karena produk kayu lapis pada masa itu
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang selama periode tersebut
diimpor ke Malaysia, Taiwan, Singapura, dan Korea. Kayu lapis adalah merupakan
salah satu hasil olahan kayu yang berupa papan/panel buatan yang terdiri dari
susunan beberapa lapisan vinir yang mempunyai arah serat bersilangan tegak
lurus dengan diikat oleh perekat tertentu, serta jumlah lapisan harus ganjil.
Vinir adalah lembaran kayu tipis yang diperoleh dengan cara mengupas atau
mengiris dari dolok kayu jenis tertentu. Sebagai bahan perekat kayu lapis yang
tahan terhadap kelembapan udara (jenis II) digunakan perekat khusus yang
terbuat dari lem PVA. Perekat untuk kayu lapis yang tahan air dan cuaca (jenis
I) terbuat dari fenol-formaldehid.
Gambar 1. Struktur Produksi dan
Perdagangan Kayu Lapis Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional
Indonesia
bersama Malaysia merupakan pengekspor utama pasar dunia untuk kayu lapis keras
tropik (tropical hardwood plywood) selama bertahun-tahun. Ekspor kedua
negara memiliki pangsa terbesar (dominant players) di dunia untuk jenis
kayu lapis tersebut, secara total jika diperhitungkan jenis kayu lapis kayu
lunak (softwood plywood), pangsa kedua negara pada tahun 2000 adalah 47
%. Oleh karena itu untuk komoditas kayu lapis tropik, Indonesia dan Malaysia
merupakan pesaing (competitor) untuk segmen pasar tersebut.
Selama bertahun-tahun hingga tahun
2003, industri kayu lapis Indonesia mendominasi pasar dunia kayu lapis tropik,
namun sejak tahun 2004 Malaysia mengungguli volume ekspor kayu lapis Indonesia.
Industri kayu lapis Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif yang cukup
besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Sebagai negara pengekspor kayu
lapis terbesar didunia, Indonesia memiliki mutu bahan baku kayu lapis yang
terbaik di dunia. Sejak tahun 1990 ekspor kayu lapis
memberikan hasil devisa non migas kedua terbesar setelah tekstil. Pada saat ini
kayu lapis relatif belum memegang peranan penting dalam perekonomian nasional.
Menurut FAO (1990), ekspor kayu lapis Indonesia melebihi 50 persen dari
perdagangan ekspor kayu lapis dunia sejak 1988.
C. STRATEGI
PEMASARAN KAYU LAPIS
Selanjutnya industri kayu lapis
berkembang pesat dan menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan dalam sektor
kehutanan. Hal ini tak terlepas dari kebijakan yang diterapkan pemerintahan,
baik di bidang produksi maupun pemasaran.
1) Untuk
meningkatkan nilai tambah dan posisi kayu lapis Indonesia di pasar
internasional, pada tahun 1980 pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan
ekspor kayu gelondongan guna menjamin ketersediaan suplai bahan baku bagi
industri pengolahan kayu dalam negeri, dengan harapan Indonesia dapat
mengekspor produk olahan yang bernilai tambah (value added), yang dapat
bersaing dengan produk olahan negeri, dan pada akhirnya dapat memberikan
kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
2) Mengharuskan
pengelola HPH (Hak Pengusahaan Hutan) mendirikan industri kayu terpadu yang
berintikan kayu lapis. Kebijakan ini memacu peningkatan produksi kayu lapis dan
menjadikan produksi kayu lapis berorientasi ekspor dengan laju ekspor yang
meningkat secara tajam.
3) Pemerintah
juga mendukung pengembangan sektor kayu olahan ini dengan membentuk program
kemitraan antara usaha menengah atau besar dengan usaha kecil.
4) Posisi
kuat yang dicapai oleh produk Kayu Lapis nasional di pasar dunia, tidak
terlepas dari peranan Badan Pemasaran Bersama (BPB)-Apkindo (dengan segala
kelebihan dan kekurangannya), salah satunya dengan membentuk Joint Marketing
Bodies tahun 1984 yang mampu mengkatrol harga, memperluas pasar, membangun
jaringan distribusi, serta mengatur supply dengan kuota. Posisi sebagai market
leader sekaligus cash cow produk kayu lapis ini tentunya merupakan
aset berharga yang harus dipertahankan. Kelemahan dan kesalahan di dalam
kebijakan dapat berdampak serius pada merosotnya posisi tawar industri kayu
lapis Indonesia.
5) Untuk
mencapai strategi pemasaran ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional,
perbaikan dan pemantapan pada sisi produsen/pemasok maupun eksportir kayu lapis
menjadi salah satu persyaratan bagi tercapainya pencapaian dan penguasaan pasar
di luar negeri. Disamping mampu untuk mengikuti perkembangan pasar luar negeri
dan mempengaruhi.
a.
Perbaikan
dan pemantapan produsen/pemasok
ü Pengefektifan sarana dan prasarana
yang disesuaikan dengan kemungkinan perkembangan kebutuhan dan selera luar
negeri secara maksimal dimasa mendatang
ü Peningkatan pengetahuan keterampilan
SDM dan hasil produksi yang bermutu sesuai dengan kebutuhan masa mendatang
ü Meningkatkan kematangan dan
ketajaman manajemen usaha dalam menetapkan target dan sasaran usaha secara
maksimal
ü Persiapan secara dini dalam
menghadapi era globalisasi dengan segala resiko dan konsekuensi yang
diperhitungkan
ü Peningkatan modal sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan produksi
b.
Perbaikan
dan pemantapan pedagang eksportir
ü Memelihara dan mengembangkan
hubungan dagang luar negeri secara seksama, dengan mempelajari arah kebutuhan
selera pembeli/pelanggan luar negeri
ü Meningkatkan analisa kemungkinan
kebutuhan dan selera pembeli/pelanggan luar negeri masa mendatang
ü Menjaga keberlanjutan hubungan
dengan pembeli/pelanggan luar negeri
ü Memelihara dan mengembangkan
penguasaan dan hubungan dengan produsen/pemasok sesuai kebutuhan dan selera
pembeli/pelanggan
ü Mampu untuk menghitung kemungkinan
peningkatan target dan sasaran penjualan di masa mendatang.
Secara rata-rata ada perbedaan yang nyata antara harga kayu
lapis di pasaran dalam negeri dan pasaran ekspor, dimana harga ekspor lebih
besar ± 27%. Sebelum dibentuknya Joint Marketing Bodies oleh APKINDO tahun
1984, harga kayu lapis sangat berfluktuasi. Dengan JMB, harga ekspor kayu lapis
cukup stabil dengan pertumbuhan 7% pertahun. Sedangkan harga kayu lapis dalam
negeri cukup stabil dengan pertumbuhan harga 7,5% pertahun.
Perkiraan kondisi aspek-aspek bauran pemasaran jangka pendek
dan jangka panjang produk kayu lapis dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.
Aspek
|
Prediksi
|
|
Jangka Pendek
|
Jangka Panjang
|
|
Produksi
|
No- Exceed
|
Exceed demand
|
Harga
|
Tetap/turun
|
Naik
|
Distribusi
|
Ekspor > domestik
|
Ekspor > domestic
|
Promosi
|
Agent system, Personal Approaches
|
Agent System, Market Nichers, Joint Marketing
|
Tabel 3. Prediksi Aspek Bauran Pemasaran Produk Kayu Lapis
Dalam jangka pendek, dari sisi produksi diperkirakan tidak
terjadi ekses permintaan maupun penawaran. Kondisi "keseimbangan"
yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan keseimbangan semu akibat turunnya
harga kayu lapis Indonesia di pasar internasional. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, merosotnya posisi tawar Indonesia akibat
terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan dan terutama menyusul dibubarkannya
Badan Pemasaran Bersama (BPB) kayu lapis. Kedua, bangkitnya industri kayu lapis
kompetitor terutama Jepang dan Malaysia. Industri kayu lapis Jepang bangkit
kembali memanfaatkan momentum terjepitnya posisi industri kayu lapis Indonesia
yang selama ini memegang posisi market leader eksportir kayu lapis
dunia. Bangkitnya industri kayu lapis Jepang (menurut beberapa sumber) juga
didukung oleh mengalirnya kayu bulat Rusia dan kemungkinan besar dari hutan
Siberia ke industri kayu lapis Jepang dengan harga sangat rendah (dibawah US$
60/m3). Sementara itu, fenomena menguatnya kompetitor kayu lapis utama yakni
Malaysia diduga didukung oleh mengalirnya kayu bulat ilegal Indonesia ke negeri
tersebut, terutama melalui perbatasan Serawak dan Sabah. Meskipun pemasaran
kayu lapis Indonesia di pasar internasional sedang mengalami penurunan, namun
distribusi kayu lapis sebagian besar tetap ditujukan untuk kepentingan ekspor.
Sementara itu, dengan dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama maka promosi
pemasaran dilakukan masing-masing perusahaan secara langsung. Sebagian
perusahaan masih memanfaatkan agen-agen pemasaran APKINDO yang ada di luar
negeri, dan perusahaan lain melakukan upaya pemasaran dengan caranya
sendiri-sendiri. Dalam jangka panjang kemungkinan besar akan terjadi ekses
permintaan karena menurunnya volume produksi kayu lapis di hampir semua negara
produsen utama kayu lapis dan dengan sendirinya harga kayu lapis terangkat
kembali.
III.
KESIMPULAN
Kayu merupakan komoditas
selain non migas yang sangat berpotensi besar dalam dunia industri. Dalam hal
ini terbagi jenis kayu menjadi berberapa jenis, diantaranya kayu dari pohon
jati, mahoni, sengon, dan meranti. Dimulai dari pemanenan yang cepat seperti kayu
dari pohon sengon dan pemanenan yang sangat lama seperti pada jati dan mahoni.
Akan tetapi dalam dunia industri biasanya kayu jenis pemanenan yang lebih cepat
lebih dibutuhkan. Dalam hal-hal ini seperti industri pembuatan kayu lapis. Kayu
lapis merupakan olahan kayu yang sangat dicari oleh semua orang. Kayu lapis
dapat digunakan untuk bermacam-macam seperti pembutan rumah. Dengan alasan
tersebut kayu lapis sangat dibutuhkan. Dengan permintaan hasil olahan kayu yang
semakin meningkat di dunia sehingga sangat dibutuhkan industri-industri
berbasis pengolahan kayu yang memiliki kualitas bagus. Terutama kayu lapis yang
memiliki pangsa ekspor yang sangat berpotensi besar menambah devisa negara.
Selain Jepang yang merupakan tujuan utama ekspor kayu lapis banyak juga negara
yang membutuhkan kayu lapis, sehingga pangsa pasar untuk kayu lapis sangat
besar. Hal tersebut dapat menguntungkan industri pengolahan kayu lapis dan
sebagai penyumbang devisa negara untuk ekspor.
IV.
REFERENSI
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/24613/Amiluddin_Dien%20%2817%20hal%29.pdf?sequence=1
0 comment:
Posting Komentar
give me a positive comment :)